Moral dan Etika dalam Ekonomi Islam
1. PENDAHULUAN
Sebagai suatu sistem hidup (millah, din) ajaran Islam
dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama yang berhubungan dengan
ibadah khususnya yang mengandung hubungan dimensi vertikal. Sedangkan yang
kedua yang berhubungan dengan permasalahan hubungan antar sesama mahluk
(muamalat). Kedua sub-sistem ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena
keduanya merupakan komplementer satu dengan yang lainnya. Jika keduanya
dipisahkan maka manusia akan mendapatkan kehinaan[1].
Muamallat berarti hubungan-hubungan yang tercipta antara
pergaulan dua mahluk atau lebih. Dalam pergaulan sesama manusia, kita dapat
membatasi ini menjadi dua jalur besar, yaitu Muamallat Maaliyah (hubungan yang
berkaitan dengan masalah harta, ekonomi dll) dan Muamallat Ghairu Maaliyah
(yang bukan harta, seperti pernikahan, hukum, politik dll). Dengan menggunakan
kerangka muamallat maaliyahdan beberapa perangkat ide-ide ekonomi modern, kita
dapat berusaha memilah sejumlah segmen dari sejarah kehidupan Muhammad
Rosululloh SAW untuk menemukan konsep-konsep pembaharuan dan pola pembangunan
yang beliau laksanakan dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Ada satu hal yang harus kita kemukakan kepada orang yang
mengagungkan pemikiran ekonomi yang
mendominasi masa kini, sesungguhnya ilmu ekonomi bukanlah kebenaran yang
pasti dan bukan pula sesuatu yang abadi. Pemikiran yang berkembang sekitar
ekonomi hanyalah paham yang selalu berubah dan mungkin suatu saat akan
disanggah.
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang selalu mengalami renovasi
dari masa ke masa. Ilmu ekonomi sebagaimana ilmu kemanusiaan lainnya sampai
saat sekarang masih tetap sebagai ilmu yang dalam proses diterima atau ditolak.
Ilmu ini belum sampai dan tidak akan pernah sampai kepada titik kematangan
untuk menetapkan suatu paham yang benar (Qardhowi 1995). Bahkan lebih lanjut
Qardhowi (1995) yang mengutip dari ekonom Amerika bernama, John S. Cambs,
menyatakan, bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu melainkan sekedar “harapan ilmu”.
Qardhowi (1995) menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah ilmu yang berdasarkan
kepada ke-Tuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir pada
Allah, dan menggunakan sarana dan prasarana yang tidak lepas dari syariat dan
hukum Allah. Aktivitas-aktivitas ekonomi (seperti, produksi, distribusi
konsumsi, perdagangan dll) yang dijalankan tidak terlepas dari titik tolak
ketuhanan dan bertujuan akhir pada Allah. Sebagai misal, kalau seorang muslim
bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena ingin memenuhi
perintah Allah. Seperti dijelaskan dalam Al Qur’an ;
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, Maka
berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian rezeki-Nya dan hanya
kepada-Nyalah kamu kembali (setelah dibangkitkan).[2]” Juga ketika menanam, maka seorang muslim
merasa bahwa yang ia kerjakan adalah ibadah kepada Allah. Begitu pula saat ia
sedang membajak, menganyam, ataupun berdagang. Makin tekun ia bekerja, makin
taqwa ia kepada Allah ; bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat ia
kepada-Nya.
Memahami sistem ekonomi Islam secara utuh dan
komprehensif, selain memerlukan pemahaman tentang Islam juga memerlukan
pemahaman yang memadai tentang pengetahuan ekonomi umum mutakhir. Keterbatasan
dalam pemahaman Islam akan berakibat pada tidak dipahaminya sistem ekonomi
Islam secara utuh dan menyeluruh, mulai dari aspek fundamental ideologis sampai
pemahaman konsep serta aplikasi praktisnya. Akibatnya tidak jarang pemahaman
yang muncul, hanya menganggap bahwa sistem ekonomi Islam tidak berbeda dengan
sistem ekonomi umum yang selama ini ada, hanya minus sistem ribawi (riba)
ditambah dengan zis(zakat, infak, sedekah) juga disertai adanya prinsip-prinsip
akhlak yang diperlukan dalam kegiatan ekonomi. Sebaliknya keterbatasan dalam
pemahaman tentang ekonomi umum mutakhir akan berakibat pada anggapan bahwa
sistem ekonomi Islam tidak memiliki konsep operasional, namun hanya memiliki
konsep-konsep teoritis dan moral seperti yang terdapat pada hukum-hukum fikih
tentang muamalah , seperti perdagangan, sewamenyewa, sistem simpan pinjam dan
lain-lain. Dengan kata lain menurut mereka system Islam hanya berisi tentang
konsep-konsep dan garis besarnya saja, tetapi sebetulnya
lebih dari itu yaitu merincinya lebih lanjut dalam
operasional pelaksanaannya. Karenanya untuk memahami sistem ekonomi Islam
selain memerlukan pemahaman tentang Islam secara utuh, juga memerlukan
pemahaman tentang pengetahuan ekonomi umum mutakhir.
Pemahaman Islam diperlukan untuk memahami prinsip-prinsip
ekonomi Islam secara utuh, yang memerlukan bagian dari system keseluruhan. Atau
dengan kata lain agar falsafah, tujuan, dan strategi operasional dari sistem
ekonomi Islam dapat dipahami secara komprehensip. Dengan demikian tidak ada
lagi anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki landasan filosofis.
Politis maupun strategis. Yang perlu digarisbawahi disini bahwa yang mendasar membedakan
antara kajian ekonomi Islam dengan ekonomi kontemporer lainnya adalah,
prinsip-prinsip, dan kaidah hukum yang menyertainya. Selain itu, dalam makalah
ini kami juga akan
berbicara tentang bagaimana prinsip-prinsip ekonomi
Islam,etika dan moral dalam berbisnis, untuk memberi sedikit pandangan yang
‘berbeda’ dalam memandang sistem ekonomi yang akan dicoba dijadikan sebagai
salah satu ‘rujukan’ dalam menyelesaikan permasalahan yang ada, dan terbukti
sistem yang ada selama ini belum dapat menuntaskan permasalahan yang semakin
rumit dan kompleks yang terjadi pada saat ini.
II. PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM
Menurut Manan (1995), sedikitnya ada tujuh langkah untuk
merumuskan perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi Islam, yang kesemuanya saling
terkait.Pertama, mengidentifikasi suatu problem atau masalah. Kedua, mencari
prinsip pedoman yang terdapat dalam syariat secara eksplisit maupun implisit,
untuk memecahkan problem yang dipersoalkan tersebut. Prinsip-prinsip ini yang
dapat diambil dan dideduksi dari kitab suci Al-Qur’an maupun Hadist nabi,
dimana Al-Qur’an dapat
dipandang abadi dalam kebenarannya. Ketiga, ditingkat
operasional, ilmu pengetahuan yang mendasari prinsip atas asas itu perlu
dirumuskan dan dibuatkan konsepnya terlebih dahulu. Di sinilah mulainya proses
perumusan teoritik mengenai problem itu, yaitu titik tolak ilmu pengetahuan
pada ilmu ekonomi Islam. Keempat, penentuan perumusan kebijakan. Pada taraf ini
harus diketahui dengan jelas bahwa suatu pernyataan imperatif mengenai apa yang
harus terjadi, harus dikaitkan tidak hanya dengan tingkat perumusan teoritik,
tetapi juga dengan tingkat penentuan kebijakan, yang tidak boleh lepas dari
syari’at. Kelima, kebijakan yang tercapai melalui analisis teoritik harus
dilaksanakan3. Keenam, perlunya lembaga yang memadai dalam melaksanakan
kebijakan tersebut, karena tanpa lembaga tersebut ide itu tidak dapat
dilaksanakan4. Ketujuh, diperlukan peninjauan kembali pada prinsip-prinsip yang
digunakan. Ini juga menunjukkan perlu adanya rekonstruksi dari teori dan
kebijakan ekonomi Islam, rekonstruksi ini memberikan peluang bagi suatu
pemikiran yang berkembang dan dapat diuji kebenarannya.
Lebih lanjut Abdul Manan,M (1995), menyatakan bahwa hal
ini merupakan suatu proses yang terus menerus. Dengan begitu akan terdapat
kemungkinan yang tidak terbatas bagi pertumbuhan ekonomi Islam lebih lanjut.
Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem, ekonomi
lainnya, khususnya Kapitalis dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi
permasalahan ekonomi pada kehidupan manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis,
permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan
jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam dan
jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuasnya (barang dan jasa) yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) terbatas, sebab
menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal
yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri ( Riza 2000). Setiap kebutuhan yang ada
pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan
sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu di satu
sisi kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas sementara alat dan sarana yang
digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan. Dan
dalam hal ini sistem ekonomi kapitalis tersebut hanya membahas masalah yang
menyangkut aspek-aspek yang bersifat materi dari kehidupan manusia5.
Selanjutnya hal ini diperkuat oleh An-Nabhani (1999), dengan kesimpulannya
bahwa sistem kapitalis itu sesungguhnya dibangun dalam tiga kerangka dasar ,
yaitu; Pertama kelangkaan atau keterbatasan barang-barang dan jasa-jasa yang
berkaitan dengan kebutuhan manusia. Dimana barang-barang dan jasa-jasa itu
tidak mampu atau memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
manusia yang beraneka ragam dan terus-menerus bertambah kuantitasnya. Kedua,
adalah nilai (value) suatu barang yang dihasilkan, ketiga, adalah harga (price)
serta peranan yang dimainkannya
dalam produksi, konsumsi, dan distribusi. Dimana harga
merupakan alat pengendali dalam sistem ekonomi kapitalis. Berbeda dengan sistem
ekonomi kapitalis, maka sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa permasalahan
ekonomi utama dalam masyarakat adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan
ditengah masyarakat atau dengan kata lain komitmen Islam yang demikian mendalam
terhadap persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan (falah)
bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam (Chapra 2000).
Kesejahteraan ini meliputi kepuasaan fisik, kedamaian mental dan kebahagiaan
yang hanya dapat dicapai melalui realisasi yang seimbang antara kebutuhan
materi dan rohani dari personalitas manusia. Karena itu, memaksimumkan output
total semata-mata tidak menjadi tujuan dari sebuah masyarakat muslim.
Memaksimumkan output harus dibarengi dengan adanya jaminan bagi usaha-usaha
yang ditujukan pada kesehatan rohani yang terletak pada batin manusia, keadilan
serta perdamaian yang fair pada semua tingkat interaksi manusia dalam
masyarakat. Hanya pembangunan semacam inilah yang akan selaras dengan
tujuan-tujuan syariat Islam (Chapra 2000).
2.1. Sistem Ekonomi Berlandaskan Etika
Islam tidak membedakan antara ekonomi dengan etika,
sebagaimana juga Islam tidak membedakan antara ilmu dengan akhlak, politik
dengan etika, perang dengan etika dan lain lain, sehingga dalam mengarungi
kehidupannya seorang muslim haruslah memiliki budi pekerti dan akhlak yang
mulia seperti yang di contohkan oleh Muhammad Rosululloh SAW. Manusia muslim
individu maupun kelompok disatu sisi
diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, namun disisi lain,
ia terikat dengan iman dan etika, sehingga ia tidak bebas mutlak dalam
permasalahan ekonomi
untuk menginvestasikan modalnya atau membelanjakan
hartanya, yang akan dapat merugikan bagi orang lain. Masyarakat muslim juga
tidak bebas tanpa kendali dalam memproduksi segala sumberdaya alam yang ada yang
dapat berakibat merusaknya, menditrubusikannya atau mengkonsumsinya. Ia terikat
dengan ikatan akidah dan etika mulia, disamping juga dengan hukum-hukum Islam.
Sebagai misal dalam memandang masalah minuman keras, Islam dengan jelasdan
tegas menyebutkannya :
يا ايها الذين ا منواإنما الخمروالميسر والأنصاب والأزلام رجس
من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون (90) إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة
والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكرالله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون(91)
“Hai
orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk)
berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (yang) termasuk
perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keberuntungan. Sesungguhnya setan itu termasuk hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentillah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu)”[3]
Minuman keras atau khamar, dari sisi ekonomi mungkin
sangat menguntungkan seperti dapat membuka lapangan pekerjaan, akan tetapi
larangan tersebut sifatnya sudah final dan secara kompleks dan meyeluruh, yaitu
larangan bagi pembuatnya (produsennya), penyalurnya, orang yang mengantarkan
barang tersebut (transportasinya), orang yang menjualnya, orang yang
membelikannya, dan orang yang menuangkannya. Bahkan lebih lanjut dalam ayat
tersebut, dengan minuman keras tersebut sebagai pembuka untuk dilakukannya
bentuk-bentuk kejahatan yang lain, seperti, pencurian, pemerkosaan, permbunuhan
dan lain-lain. Menurut Qardhawi (1980), minuman keras adalah zat yang
memabukkan, maka setiap barang yang memabukkan baik itu sedikit maupun banyak
juga haram, juga dapat dikatagorikan barang yang memabukkan adalah, seperti
ganja, marijuana, narkotika dan lain-lain.
Jelaslah bahwa ekonomi Islam yang berlandaskan etika ini
tidak hanya secara harfiah melarang sesuatu itu hanya untuk sesuatu yang sesaat
dan kepentingan yang sesaat juga, tetapi lebih umum dan menyeluruh untuk
kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya baik dalam kehidupan di dunia
dan di akhirat. Sistem ekonomi yang berlandaskan etika ini diakui juga oleh
beberapa pakar ekonomi dari Eropa, yang dikutip oleh Qardhowi (1995) antara lain;
Jack Austri, seorang Perancis, dalam bukunya “Islam dan Pengembangan Ekonomi”
mengatakan, “Islam adalah gabungan antara tatanan kehidupan praktis dan sumber
etika mulia. Antara keduanya terdapat ikatan yang sangat erat yang tidak dapat
terpisahkan. Dari sini sebetulnya orang Islam tidak dapat menerima paham
ekonomi orang kapitalis yang lebih condong pada keduniaan saja tanpa memikirkan
akhirat. Dan ekonomi yang kekuatannya berlandaskan wahyu dari langit itu tanpa
diragukan lagi adalah ekonomi yang berdasarkan pada etika”. Menurut J. Perth,
kombinasi antara ekonomi dan etika ini bukanlah hal baru dalam Islam. Sejak
semula Islam tidak mengenal pemisahan jasmani dengan rohani. Didalam Islam kita
menemukan praktek-praktek bisnis yang menggabungkan antara etika dan ekonomi,
seperti; larangan untuk mengurangi takaran dan timbangan, larangan memakan
riba, anjuran untuk menafkahkan harta yang dimiliki agar tidak menumpuk pada
orang tertentu, larangan mempunyai sifat kikir
dan untuk membersihkan hartanya“.
2.2 Etika Dalam
berbisnis
Nilai-nilai atau ajaran moral dalam Islam tidak bisa
dipisahkan dari konsep Tauhid, yang merupakan titik sentral dari ajaran Islam.
Dalam bidang ekonomi, Tahuid merupakan keyakinan bahwa Allah sebagai pemberi
dan pengatur rizki bagi hamba-Nya, Pemilik sempurna dari harta yang dititipkan
kepada umat manusia. Keyakinan ini menimbulkan paradigma baru bagi orang yang
beriman bahwa kegiatan usaha harus
disandarkan pada nilai-nilai yang telah ditetapkan dan keyakinan akan adanya
pengawasan Allah. Keyakinan akan adanya pengawasan Allah inilah yang akan
membentuk sikap mental dan etika (akhlak) para pelaku usaha.
Contoh konkrit bagi umat Islam dalam berniaga adalah apa
yang dilakukan oleh Rosululah SAW. Sebelum dianggkat sebagai seorang Nabi dan
Rosul, beliau adalah seorang pedagang atau saudagar yang sukses. Keberhasilan
beliau dalam niaga tentunya tidak bisa lepas dari bimbingan Allah SWT dan
kemuliaan akhlak yang terpancar dari pribadi beliau. Apabila kita berkaca pada
sejarah hidupnya, setidaknya ada tiga akhlak utama yang beliau terapkan dalam
berniaga, yakni shidiq, amanah, dan nasehet.
Kejujuran (shidiq)
Kejujuran merupan sifat yang langka dan nyaris tiada
dalam dunia praktik ekonomi dan bisnis saat ini. Sifat jujur dalam perniagaan menjadi sesuatu
yang asing di tengah dominasi praktek-praktek usaha kotor yang bisa
menghanyutkan siapa-saja yang berkecimpung di dalamnya. Maka tidak heran
apabila kemudian muncul sebuah stigma bahwa kalau tidak mengikuti arus maka
usaha akan mandek dan sulit dilakukan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keimanan
kepada Allah, Dzat yang memberikan rizki telah hilang dari diri umat sehingga
mereka menjadi permisif, egois dan sanggup menghalalkan apa saja demi
melampiaskan keinginannya.
Islam memberikan inisiatif bahwa berlaku jujur dalam
berusaha, sekalipun berat, merupakan salah satu sebab diberkatinya usaha.
Rosulullah SAW bersabda : “Penjual dan pembeli berhak memperoleh hak khiyar
selama mereka belum berpisah. Jika mereka berlaku jujur dan menjelaskan apa adanya
akan diberkati dalam transaksinya. Dan jika keduanya menutup-nutupi dan
berdusta, maka sekalipun mendapatkan keuntungan, keuntungan itu akan kehilangan
berkah (HR Buhori Muslim).
Sifat jujur (Shidiq) inilah yang dimiliki dan dikenal
oleh masyarakat dari diri Rosulullah
SAW, sehingga muncul kepercayaan dan siapa saja yang berniaga dengannya, dan
olehnya integritas akan terbangun.
Amanah
Sifat amanah erat kaitanya dengan sifat kejujuran
(shidiq), dimana sifat amanah sendiri merupakan refleksi dari kuat atau
tipisnya iman seseorang. Rosulullah SAW bahkan mengkategorikan orang yang tidak
menjaga amanah sebagai seorang munafik, yang tidak memiliki integritas bagi
diri dan agamanya.
Rasulullah besabda : “Tiga perkara yang apabila salah
satu ada dalam diri seseorang maka dia seorang munafik meskipun dia berpuasa,
sholat dan mengaku sebagai seorang muslim. Tiga perkara itu ialah apabila
berbicara ia bohong, apabila berjanji ia ingkar dan apabila dipercaya ia
berkhianat” (HR Buhori Muslim).
Konsekuensi amanah menghendaki tiap-tiap orang untuk
mengembalikan seseorang kepada yang punya baik itu kecil ataupun besar. Ia
tidak mengambil selain daripada haknya sendiri dan tidak mengurangi hak-hak
orang lain yang menjadi kewajibannya untuk mengembalikannya. Hak itu dapat
berupa upah, gaji, janji atau apa saja yang menjadi milik orang lain.
Bila saja sifat amanah ini diterjaga dan diterapkan oleh
para pelaku ekonomi, tentunya tidak perlu lagi terjadi adanya penuntutan hak
seseorang atas orang lain, tidak ada yang merasa terdholimi, dan perekonomian
berjalan dengan harmonis.
Nasehat
Yang dimaksud dengan nasehat disini adalah tiap individu
yang terlibat dalam usaha bisnis selalu menyayangi kebaikan dan keutamaan bagi
orang lain sebagaimana ia mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Misalnya
dalam konteks jual beli, setiap orang yang terlibat dalam transaksi harus
menjelaskan sifat-sifat dan ciri-ciri
barang yang diperjual belikan sehingga kalau ada cacat dapat diketahui
oleh si pembeli. Sebab kalau ia tidak menjelaskannya, pada kakekatnya ia telah
menimpakan kerugian kepada orang lain.
Syariat Islam memberikan kemudahan dalam transaksi dengan
adanya hak opsi (khiyar) untuk memberikan kesempatan kepada calon pembeli
memperoleh kejelasan dalam mendapatkan produk yang akan dibeli. Pada saat yang
sama pembeli diwajibkan memenuhi kewajiban opsi tersebut dan dilarang menutupi
aib yang ada di dalamnya.
Strategi pemasaran yang mengumbar kebohongan dan syahwat
sudah menjadi tren saat ini, gaya hidup konsumtif dan pamer kian merebak
seiring dengan derasnya arus informasi yang ada, tak elak masyarakat pun
menjadi korban promosi tanpa mampu mengukur kemampuan daya beli dan kebutuhan
pokok mereka, dan begitulah yang akan terus terjadi jika konsep nasehat dan
tauladan Rasulullah SAW absent dalam dunia usaha
D. BEBERAPA
TEORI DAN SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
Sistem etika Islam secara umum memiliki perbedaan
mendasar dibanding sistem etika barat. Pemaparan pemikiran yang melahirkan
sistem etika di Barat cenderung memperlihatkan perjalanan yang dinamis dengan
cirinya yang berubah-ubah dan bersifat
sementara sesuai dinamika peradaban yang dominan. Lahirnya pemikiran etika
biasanya didasarkan pada pengalaman dan nilai-nilai yang diyakini para
pencetusnya. Pengaruh ajaran agama kepada model etika di Barat justru
menciptakan ekstremitas baru dimana cenderung merenggut manusia dan
keterlibatan duniawi dibandingkan sudut lain yang sangat mengemukakan
rasionalisme dan keduniawian. Sedangkan dalam Islam mengajarkan kesatuan
hubungan antar manusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi dan
ukhrawi dengan berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
1. Etika Dalam
Perspektif Barat
Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang
akan dibahas, antara lain :
a. Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama, konsepUtility (manfaat) yang kemudian disebut
Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini dengan
menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil
akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu yang
memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi banyak
pihak. Maka, sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu itu
semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Dan kedua, teori Keadilan Distribusi (Distribitive
Justice) atau keadilan yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari teori
ini adalah perbuatan itu dinilai etis apabila menjunjung keadilan distribusi
barang dan jasa berdasarkan pada konsep Fairness. Yakni konsep yang memiliki
nilai dasar keadilan. Dalam hal ini, suatu perbuatan sangat beretika apabila
berakibat pada pemerataan atau kesamaan kesejahteraan dan beban, sehingga
konsep ini berfokus pada metode distribusinya. Distribusi sesuai bagiannya,
kebutuhannya, usahanya, sumbangan sosialnya dan sesuai jasanya, dengan ukuran
hasil yang dapat meningkatkan kerjasama antara anggota masyarakat.
b. Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan
bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip
universal, bukan “hasil” atau “konsekuensi” seperti yang ada dalam teori
teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip
yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yaitu : Pertama,
Teori Keutamaan (Virtue Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau
prinsip yang secara universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling
baik bagi manusia untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti
perbuatan manusia saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral.
Memandang sikap dan akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai
keseluruhan. Kedua, Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini adalah
bahwa perbuatan etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam.
c. Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
1) Personal
Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal
diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau
kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui)
untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur dari
maksimalisasi kebebasan individu.
2) Ethical
Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu
dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini
bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga
bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil
keputusan yang dalam hal ini adalah yang bersangkutan.
3)
Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul
Sartre. Menurutnya, standar perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada
perbuatan yang benar-benar salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya.
Setiap orang dapat memilih prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa
yang ia inginkan dirinya menjadi.
4) Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif,
jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini
adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis.
Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya
dan negara.
5) Teori Hak
(right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan.
Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih.
Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2. Etika dalam
Perpektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai
bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan
manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat
meletakkan “Akal” sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan
“Al-Qur’an” sebagai dasar kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut
pandang Islam, sebagai berikut :
a. Teleologi
Utilitarian dalam Islam adalah hak individu dan kelompok adalah penting dan
tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b. Distributive
Justice dalam Islam adalah Islam mengajarkan keadilan. Hak orang miskin berada
pada harta orang kaya. Islam mengakui kerja dan perbedaan kepemilikan kekayaan.
c. Deontologi
dalam Islam adalah Niat baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal.
Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan tetapi apabila caranya tidak baik,
maka tetap tidak baik.
d. Eternal Law
dalam Islam adalah Allah mewajibkan manusia untuk mempelajari dan membaca wahyu
dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam mewajibkan
manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa muamalah sebagai proses
penyucian diri.
e. Relativisme
dalam Islam adalah perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan
Al-Qur’an dan Hadis. Prinsip konsultasi dengan pihak lain sangat ditekankan
dalam Islam dan tidak ada tempat bagi egoisme dalam Islam.
f. Teori Hak
dalam Islam adalah menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan
menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggungjawab tidak dapat diterima.
Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak individu.
E. KETENTUAN
UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
1. Kesatuan
(Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan
dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim
baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen,
serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari
konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi
membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi
terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat
penting dalam sistem Islam.
2. Keseimbangan
(Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam
berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus
Allah untuk membangun keadilan.
Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara
kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam
berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis
adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk
menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan
kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن
تأويلا
“Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S.
al-Isra’: 35)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam
mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya :
“Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3. Kehendak
Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika
bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif.
Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi
seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala
potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi
kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban
setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
4. Tanggungjawab
(Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil
dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan
akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu
mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat
dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan
oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5. Kebenaran:
kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna
kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan
kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan
perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau
memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau
menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam
sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah
satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
F. TINGKATAN
APLIKASI ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga
tingkatan, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat
individual, etika bisnis mempengaruhi
pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan
kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat
organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab
sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau
tindakan berdasarkan sistem etika tertentu.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan
etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi,
kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh
pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku
bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral,
misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan,
dan manajemen konflik.
—————————————————–
• http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/etika-bisnis-dalam-islam.html.
• http://agustianto.niriah.com/2008/04/11/etika-bisnis-dalam-islam/
• http://zonaekis.com/prinsip-prinsip-dasar-dalam-etika-bisnis-islam
• http://zulfictarreza.blogspot.com/2010/11/etika-bisnis.html
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang
merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi.
Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari
sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi
negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung
menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di
negara-negara Muslim tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari
Islam kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang
dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa
pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh
sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations. Di samping
itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan
beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan
tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang
dikembangkan. Dalam pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa
dunia kapitalis sudah begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya.
Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam
mengumpulkan harta dari sebuah usaha secara maksimal.
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran
cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal
yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam
sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan
referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam
Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan
dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis
berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan
problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam
rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi
perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi –baik
kapitalisme maupun sosialisme-, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan
perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang
harus dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian, makalah ini akan mengkaji
permasalahan revitalisasi perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan
pengembangan sektor riil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar