Minggu, 16 Juni 2013

etika keuangan dalam islam



Moral dan Etika dalam Ekonomi Islam

1.         PENDAHULUAN
Sebagai suatu sistem hidup (millah, din) ajaran Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian. Pertama yang berhubungan dengan ibadah khususnya yang mengandung hubungan dimensi vertikal. Sedangkan yang kedua yang berhubungan dengan permasalahan hubungan antar sesama mahluk (muamalat). Kedua sub-sistem ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Karena keduanya merupakan komplementer satu dengan yang lainnya. Jika keduanya dipisahkan maka manusia akan mendapatkan kehinaan[1].
Muamallat berarti hubungan-hubungan yang tercipta antara pergaulan dua mahluk atau lebih. Dalam pergaulan sesama manusia, kita dapat membatasi ini menjadi dua jalur besar, yaitu Muamallat Maaliyah (hubungan yang berkaitan dengan masalah harta, ekonomi dll) dan Muamallat Ghairu Maaliyah (yang bukan harta, seperti pernikahan, hukum, politik dll). Dengan menggunakan kerangka muamallat maaliyahdan beberapa perangkat ide-ide ekonomi modern, kita dapat berusaha memilah sejumlah segmen dari sejarah kehidupan Muhammad Rosululloh SAW untuk menemukan konsep-konsep pembaharuan dan pola pembangunan yang beliau laksanakan dalam bidang ekonomi dan keuangan.
Ada satu hal yang harus kita kemukakan kepada orang yang mengagungkan pemikiran ekonomi yang  mendominasi masa kini, sesungguhnya ilmu ekonomi bukanlah kebenaran yang pasti dan bukan pula sesuatu yang abadi. Pemikiran yang berkembang sekitar ekonomi hanyalah paham yang selalu berubah dan mungkin suatu saat akan disanggah.
Ilmu ekonomi adalah ilmu yang selalu mengalami renovasi dari masa ke masa. Ilmu ekonomi sebagaimana ilmu kemanusiaan lainnya sampai saat sekarang masih tetap sebagai ilmu yang dalam proses diterima atau ditolak. Ilmu ini belum sampai dan tidak akan pernah sampai kepada titik kematangan untuk menetapkan suatu paham yang benar (Qardhowi 1995). Bahkan lebih lanjut Qardhowi (1995) yang mengutip dari ekonom Amerika bernama, John S. Cambs, menyatakan, bahwa ilmu ekonomi bukanlah ilmu melainkan sekedar “harapan ilmu”. Qardhowi (1995) menyatakan bahwa ekonomi Islam adalah ilmu yang berdasarkan kepada ke-Tuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir pada Allah, dan menggunakan sarana dan prasarana yang tidak lepas dari syariat dan hukum Allah. Aktivitas-aktivitas ekonomi (seperti, produksi, distribusi konsumsi, perdagangan dll) yang dijalankan tidak terlepas dari titik tolak ketuhanan dan bertujuan akhir pada Allah. Sebagai misal, kalau seorang muslim bekerja dalam bidang produksi, maka itu tidak lain karena ingin memenuhi perintah Allah. Seperti dijelaskan dalam Al Qur’an ;
“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, Maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebagian rezeki-Nya dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali (setelah dibangkitkan).[2]”  Juga ketika menanam, maka seorang muslim merasa bahwa yang ia kerjakan adalah ibadah kepada Allah. Begitu pula saat ia sedang membajak, menganyam, ataupun berdagang. Makin tekun ia bekerja, makin taqwa ia kepada Allah ; bertambah rapi pekerjaannya, bertambah dekat ia kepada-Nya.
Memahami sistem ekonomi Islam secara utuh dan komprehensif, selain memerlukan pemahaman tentang Islam juga memerlukan pemahaman yang memadai tentang pengetahuan ekonomi umum mutakhir. Keterbatasan dalam pemahaman Islam akan berakibat pada tidak dipahaminya sistem ekonomi Islam secara utuh dan menyeluruh, mulai dari aspek fundamental ideologis sampai pemahaman konsep serta aplikasi praktisnya. Akibatnya tidak jarang pemahaman yang muncul, hanya menganggap bahwa sistem ekonomi Islam tidak berbeda dengan sistem ekonomi umum yang selama ini ada, hanya minus sistem ribawi (riba) ditambah dengan zis(zakat, infak, sedekah) juga disertai adanya prinsip-prinsip akhlak yang diperlukan dalam kegiatan ekonomi. Sebaliknya keterbatasan dalam pemahaman tentang ekonomi umum mutakhir akan berakibat pada anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki konsep operasional, namun hanya memiliki konsep-konsep teoritis dan moral seperti yang terdapat pada hukum-hukum fikih tentang muamalah , seperti perdagangan, sewamenyewa, sistem simpan pinjam dan lain-lain. Dengan kata lain menurut mereka system Islam hanya berisi tentang konsep-konsep dan garis besarnya saja, tetapi sebetulnya
lebih dari itu yaitu merincinya lebih lanjut dalam operasional pelaksanaannya. Karenanya untuk memahami sistem ekonomi Islam selain memerlukan pemahaman tentang Islam secara utuh, juga memerlukan pemahaman tentang pengetahuan ekonomi umum mutakhir.
Pemahaman Islam diperlukan untuk memahami prinsip-prinsip ekonomi Islam secara utuh, yang memerlukan bagian dari system keseluruhan. Atau dengan kata lain agar falsafah, tujuan, dan strategi operasional dari sistem ekonomi Islam dapat dipahami secara komprehensip. Dengan demikian tidak ada lagi anggapan bahwa sistem ekonomi Islam tidak memiliki landasan filosofis. Politis maupun strategis. Yang perlu digarisbawahi disini bahwa yang mendasar membedakan antara kajian ekonomi Islam dengan ekonomi kontemporer lainnya adalah, prinsip-prinsip, dan kaidah hukum yang menyertainya. Selain itu, dalam makalah ini kami juga akan
berbicara tentang bagaimana prinsip-prinsip ekonomi Islam,etika dan moral dalam berbisnis, untuk memberi sedikit pandangan yang ‘berbeda’ dalam memandang sistem ekonomi yang akan dicoba dijadikan sebagai salah satu ‘rujukan’ dalam menyelesaikan permasalahan yang ada, dan terbukti sistem yang ada selama ini belum dapat menuntaskan permasalahan yang semakin rumit dan kompleks yang terjadi pada saat ini.
II. PRINSIP-PRINSIP EKONOMI ISLAM

Menurut Manan (1995), sedikitnya ada tujuh langkah untuk merumuskan perkembangan ilmu pengetahuan ekonomi Islam, yang kesemuanya saling terkait.Pertama, mengidentifikasi suatu problem atau masalah. Kedua, mencari prinsip pedoman yang terdapat dalam syariat secara eksplisit maupun implisit, untuk memecahkan problem yang dipersoalkan tersebut. Prinsip-prinsip ini yang dapat diambil dan dideduksi dari kitab suci Al-Qur’an maupun Hadist nabi, dimana Al-Qur’an dapat
dipandang abadi dalam kebenarannya. Ketiga, ditingkat operasional, ilmu pengetahuan yang mendasari prinsip atas asas itu perlu dirumuskan dan dibuatkan konsepnya terlebih dahulu. Di sinilah mulainya proses perumusan teoritik mengenai problem itu, yaitu titik tolak ilmu pengetahuan pada ilmu ekonomi Islam. Keempat, penentuan perumusan kebijakan. Pada taraf ini harus diketahui dengan jelas bahwa suatu pernyataan imperatif mengenai apa yang harus terjadi, harus dikaitkan tidak hanya dengan tingkat perumusan teoritik, tetapi juga dengan tingkat penentuan kebijakan, yang tidak boleh lepas dari syari’at. Kelima, kebijakan yang tercapai melalui analisis teoritik harus dilaksanakan3. Keenam, perlunya lembaga yang memadai dalam melaksanakan kebijakan tersebut, karena tanpa lembaga tersebut ide itu tidak dapat dilaksanakan4. Ketujuh, diperlukan peninjauan kembali pada prinsip-prinsip yang digunakan. Ini juga menunjukkan perlu adanya rekonstruksi dari teori dan kebijakan ekonomi Islam, rekonstruksi ini memberikan peluang bagi suatu pemikiran yang berkembang dan dapat diuji kebenarannya.
Lebih lanjut Abdul Manan,M (1995), menyatakan bahwa hal ini merupakan suatu proses yang terus menerus. Dengan begitu akan terdapat kemungkinan yang tidak terbatas bagi pertumbuhan ekonomi Islam lebih lanjut. Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem, ekonomi lainnya, khususnya Kapitalis dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi pada kehidupan manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Hal ini karena setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuasnya (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) terbatas, sebab menurut pandangan ini pengertian antara kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri ( Riza 2000). Setiap kebutuhan yang ada pada diri manusia tersebut menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan yang jumlahnya terbatas. Oleh karena itu di satu sisi kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas sementara alat dan sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan. Dan dalam hal ini sistem ekonomi kapitalis tersebut hanya membahas masalah yang menyangkut aspek-aspek yang bersifat materi dari kehidupan manusia5. Selanjutnya hal ini diperkuat oleh An-Nabhani (1999), dengan kesimpulannya bahwa sistem kapitalis itu sesungguhnya dibangun dalam tiga kerangka dasar , yaitu; Pertama kelangkaan atau keterbatasan barang-barang dan jasa-jasa yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Dimana barang-barang dan jasa-jasa itu tidak mampu atau memiliki keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang beraneka ragam dan terus-menerus bertambah kuantitasnya. Kedua, adalah nilai (value) suatu barang yang dihasilkan, ketiga, adalah harga (price) serta peranan yang dimainkannya
dalam produksi, konsumsi, dan distribusi. Dimana harga merupakan alat pengendali dalam sistem ekonomi kapitalis. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, maka sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa permasalahan ekonomi utama dalam masyarakat adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan ditengah masyarakat atau dengan kata lain komitmen Islam yang demikian mendalam terhadap persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan (falah) bagi semua umat manusia sebagai suatu tujuan pokok Islam (Chapra 2000). Kesejahteraan ini meliputi kepuasaan fisik, kedamaian mental dan kebahagiaan yang hanya dapat dicapai melalui realisasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani dari personalitas manusia. Karena itu, memaksimumkan output total semata-mata tidak menjadi tujuan dari sebuah masyarakat muslim. Memaksimumkan output harus dibarengi dengan adanya jaminan bagi usaha-usaha yang ditujukan pada kesehatan rohani yang terletak pada batin manusia, keadilan serta perdamaian yang fair pada semua tingkat interaksi manusia dalam masyarakat. Hanya pembangunan semacam inilah yang akan selaras dengan tujuan-tujuan syariat Islam (Chapra 2000).
2.1. Sistem Ekonomi Berlandaskan Etika

Islam tidak membedakan antara ekonomi dengan etika, sebagaimana juga Islam tidak membedakan antara ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan lain lain, sehingga dalam mengarungi kehidupannya seorang muslim haruslah memiliki budi pekerti dan akhlak yang mulia seperti yang di contohkan oleh Muhammad Rosululloh SAW. Manusia muslim individu maupun kelompok  disatu sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, namun disisi lain, ia terikat dengan iman dan etika, sehingga ia tidak bebas mutlak dalam permasalahan ekonomi
untuk menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya, yang akan dapat merugikan bagi orang lain. Masyarakat muslim juga tidak bebas tanpa kendali dalam memproduksi segala sumberdaya alam yang ada yang dapat berakibat merusaknya, menditrubusikannya atau mengkonsumsinya. Ia terikat dengan ikatan akidah dan etika mulia, disamping juga dengan hukum-hukum Islam. Sebagai misal dalam memandang masalah minuman keras, Islam dengan jelasdan tegas menyebutkannya :
يا ايها الذين ا منواإنما الخمروالميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون (90) إنما يريد الشيطان أن يوقع بينكم العداوة والبغضاء في الخمر والميسر ويصدكم عن ذكرالله وعن الصلاة فهل أنتم منتهون(91)
Hai orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji (yang) termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu termasuk hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang, maka berhentillah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”[3]
Minuman keras atau khamar, dari sisi ekonomi mungkin sangat menguntungkan seperti dapat membuka lapangan pekerjaan, akan tetapi larangan tersebut sifatnya sudah final dan secara kompleks dan meyeluruh, yaitu larangan bagi pembuatnya (produsennya), penyalurnya, orang yang mengantarkan barang tersebut (transportasinya), orang yang menjualnya, orang yang membelikannya, dan orang yang menuangkannya. Bahkan lebih lanjut dalam ayat tersebut, dengan minuman keras tersebut sebagai pembuka untuk dilakukannya bentuk-bentuk kejahatan yang lain, seperti, pencurian, pemerkosaan, permbunuhan dan lain-lain. Menurut Qardhawi (1980), minuman keras adalah zat yang memabukkan, maka setiap barang yang memabukkan baik itu sedikit maupun banyak juga haram, juga dapat dikatagorikan barang yang memabukkan adalah, seperti ganja, marijuana, narkotika dan lain-lain.
Jelaslah bahwa ekonomi Islam yang berlandaskan etika ini tidak hanya secara harfiah melarang sesuatu itu hanya untuk sesuatu yang sesaat dan kepentingan yang sesaat juga, tetapi lebih umum dan menyeluruh untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia seluruhnya baik dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Sistem ekonomi yang berlandaskan etika ini diakui juga oleh beberapa pakar ekonomi dari Eropa, yang dikutip oleh Qardhowi (1995) antara lain; Jack Austri, seorang Perancis, dalam bukunya “Islam dan Pengembangan Ekonomi” mengatakan, “Islam adalah gabungan antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika mulia. Antara keduanya terdapat ikatan yang sangat erat yang tidak dapat terpisahkan. Dari sini sebetulnya orang Islam tidak dapat menerima paham ekonomi orang kapitalis yang lebih condong pada keduniaan saja tanpa memikirkan akhirat. Dan ekonomi yang kekuatannya berlandaskan wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah ekonomi yang berdasarkan pada etika”. Menurut J. Perth, kombinasi antara ekonomi dan etika ini bukanlah hal baru dalam Islam. Sejak semula Islam tidak mengenal pemisahan jasmani dengan rohani. Didalam Islam kita menemukan praktek-praktek bisnis yang menggabungkan antara etika dan ekonomi, seperti; larangan untuk mengurangi takaran dan timbangan, larangan memakan riba, anjuran untuk menafkahkan harta yang dimiliki agar tidak menumpuk pada orang tertentu, larangan mempunyai sifat kikir  dan untuk membersihkan hartanya“.
2.2  Etika Dalam berbisnis
Nilai-nilai atau ajaran moral dalam Islam tidak bisa dipisahkan dari konsep Tauhid, yang merupakan titik sentral dari ajaran Islam. Dalam bidang ekonomi, Tahuid merupakan keyakinan bahwa Allah sebagai pemberi dan pengatur rizki bagi hamba-Nya, Pemilik sempurna dari harta yang dititipkan kepada umat manusia. Keyakinan ini menimbulkan paradigma baru bagi orang yang beriman bahwa kegiatan usaha  harus disandarkan pada nilai-nilai yang telah ditetapkan dan keyakinan akan adanya pengawasan Allah. Keyakinan akan adanya pengawasan Allah inilah yang akan membentuk sikap mental dan etika (akhlak) para pelaku usaha.
Contoh konkrit bagi umat Islam dalam berniaga adalah apa yang dilakukan oleh Rosululah SAW. Sebelum dianggkat sebagai seorang Nabi dan Rosul, beliau adalah seorang pedagang atau saudagar yang sukses. Keberhasilan beliau dalam niaga tentunya tidak bisa lepas dari bimbingan Allah SWT dan kemuliaan akhlak yang terpancar dari pribadi beliau. Apabila kita berkaca pada sejarah hidupnya, setidaknya ada tiga akhlak utama yang beliau terapkan dalam berniaga, yakni shidiq, amanah, dan nasehet.

Kejujuran (shidiq)
Kejujuran merupan sifat yang langka dan nyaris tiada dalam dunia praktik ekonomi dan bisnis saat ini.  Sifat jujur dalam perniagaan menjadi sesuatu yang asing di tengah dominasi praktek-praktek usaha kotor yang bisa menghanyutkan siapa-saja yang berkecimpung di dalamnya. Maka tidak heran apabila kemudian muncul sebuah stigma bahwa kalau tidak mengikuti arus maka usaha akan mandek dan sulit dilakukan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa keimanan kepada Allah, Dzat yang memberikan rizki telah hilang dari diri umat sehingga mereka menjadi permisif, egois dan sanggup menghalalkan apa saja demi melampiaskan keinginannya.
Islam memberikan inisiatif bahwa berlaku jujur dalam berusaha, sekalipun berat, merupakan salah satu sebab diberkatinya usaha. Rosulullah SAW bersabda : “Penjual dan pembeli berhak memperoleh hak khiyar selama mereka belum berpisah. Jika mereka berlaku jujur dan menjelaskan apa adanya akan diberkati dalam transaksinya. Dan jika keduanya menutup-nutupi dan berdusta, maka sekalipun mendapatkan keuntungan, keuntungan itu akan kehilangan berkah (HR Buhori Muslim).
Sifat jujur (Shidiq) inilah yang dimiliki dan dikenal oleh masyarakat dari diri  Rosulullah SAW, sehingga muncul kepercayaan dan siapa saja yang berniaga dengannya, dan olehnya integritas akan terbangun.
Amanah
Sifat amanah erat kaitanya dengan sifat kejujuran (shidiq), dimana sifat amanah sendiri merupakan refleksi dari kuat atau tipisnya iman seseorang. Rosulullah SAW bahkan mengkategorikan orang yang tidak menjaga amanah sebagai seorang munafik, yang tidak memiliki integritas bagi diri dan agamanya.
Rasulullah besabda : “Tiga perkara yang apabila salah satu ada dalam diri seseorang maka dia seorang munafik meskipun dia berpuasa, sholat dan mengaku sebagai seorang muslim. Tiga perkara itu ialah apabila berbicara ia bohong, apabila berjanji ia ingkar dan apabila dipercaya ia berkhianat” (HR Buhori Muslim).
Konsekuensi amanah menghendaki tiap-tiap orang untuk mengembalikan seseorang kepada yang punya baik itu kecil ataupun besar. Ia tidak mengambil selain daripada haknya sendiri dan tidak mengurangi hak-hak orang lain yang menjadi kewajibannya untuk mengembalikannya. Hak itu dapat berupa upah, gaji, janji atau apa saja yang menjadi milik orang lain.
Bila saja sifat amanah ini diterjaga dan diterapkan oleh para pelaku ekonomi, tentunya tidak perlu lagi terjadi adanya penuntutan hak seseorang atas orang lain, tidak ada yang merasa terdholimi, dan perekonomian berjalan dengan harmonis.
Nasehat
Yang dimaksud dengan nasehat disini adalah tiap individu yang terlibat dalam usaha bisnis selalu menyayangi kebaikan dan keutamaan bagi orang lain sebagaimana ia mencintai kebaikan itu bagi dirinya sendiri. Misalnya dalam konteks jual beli, setiap orang yang terlibat dalam transaksi harus menjelaskan sifat-sifat dan ciri-ciri  barang yang diperjual belikan sehingga kalau ada cacat dapat diketahui oleh si pembeli. Sebab kalau ia tidak menjelaskannya, pada kakekatnya ia telah menimpakan kerugian kepada orang lain.
Syariat Islam memberikan kemudahan dalam transaksi dengan adanya hak opsi (khiyar) untuk memberikan kesempatan kepada calon pembeli memperoleh kejelasan dalam mendapatkan produk yang akan dibeli. Pada saat yang sama pembeli diwajibkan memenuhi kewajiban opsi tersebut dan dilarang menutupi aib yang ada di dalamnya.
Strategi pemasaran yang mengumbar kebohongan dan syahwat sudah menjadi tren saat ini, gaya hidup konsumtif dan pamer kian merebak seiring dengan derasnya arus informasi yang ada, tak elak masyarakat pun menjadi korban promosi tanpa mampu mengukur kemampuan daya beli dan kebutuhan pokok mereka, dan begitulah yang akan terus terjadi jika konsep nasehat dan tauladan Rasulullah SAW absent dalam dunia usaha
D.    BEBERAPA TEORI DAN SISTEMATIKA ETIKA BISNIS
Sistem etika Islam secara umum memiliki perbedaan mendasar dibanding sistem etika barat. Pemaparan pemikiran yang melahirkan sistem etika di Barat cenderung memperlihatkan perjalanan yang dinamis dengan cirinya yang  berubah-ubah dan bersifat sementara sesuai dinamika peradaban yang dominan. Lahirnya pemikiran etika biasanya didasarkan pada pengalaman dan nilai-nilai yang diyakini para pencetusnya. Pengaruh ajaran agama kepada model etika di Barat justru menciptakan ekstremitas baru dimana cenderung merenggut manusia dan keterlibatan duniawi dibandingkan sudut lain yang sangat mengemukakan rasionalisme dan keduniawian. Sedangkan dalam Islam mengajarkan kesatuan hubungan antar manusia dengan Penciptanya. Kehidupan totalitas duniawi dan ukhrawi dengan berdasarkan sumber utama yang jelas yaitu Al-Qur’an dan Hadis.
1.    Etika Dalam Perspektif Barat
Dalam sistem etika Barat ini, ada tiga teori etika yang akan dibahas, antara lain :
a.    Teleologi
Teori yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham dan John Stuart Mill ini mendasarkan pada dua konsep yakni : Pertama,  konsepUtility (manfaat) yang kemudian disebut Utilitarianisme. artinya, pengambilan keputusan etika yang ada pada konsep ini dengan menggunakan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya. Dengan kata lain, sesuatu yang dinilai benar adalah sesuatu yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi banyak pihak. Maka, sesuatu itu dinilai sebagai perbuatan etis ketika sesuatu itu semakin bermanfaat bagi banyak orang.
Dan kedua, teori Keadilan Distribusi (Distribitive Justice) atau keadilan yang berdasarkan pada konsep Fairness. Inti dari teori ini adalah perbuatan itu dinilai etis apabila menjunjung keadilan distribusi barang dan jasa berdasarkan pada konsep Fairness. Yakni konsep yang memiliki nilai dasar keadilan. Dalam hal ini, suatu perbuatan sangat beretika apabila berakibat pada pemerataan atau kesamaan kesejahteraan dan beban, sehingga konsep ini berfokus pada metode distribusinya. Distribusi sesuai bagiannya, kebutuhannya, usahanya, sumbangan sosialnya dan sesuai jasanya, dengan ukuran hasil yang dapat meningkatkan kerjasama antara anggota masyarakat.
b.    Deontologi
Teori yang dikembangkan oleh Immanuel Kant ini mengatakan bahwa keputusan moral harus berdasarkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip universal, bukan “hasil” atau “konsekuensi” seperti yang ada dalam teori teleologi. Perbuatan baik bukan karena hasilnya tapi mengikuti suatu prinsip yang baik berdasarkan kemauan yang baik.
Dalam teori ini terdapat dua konsep, yaitu : Pertama, Teori Keutamaan (Virtue Ethics). Dasar dari teori ini bukanlah aturan atau prinsip yang secara universal benar atau diterima, akan tetapi apa yang paling baik bagi manusia untuk hidup. Dasar dari teori ini adalah tidak menyoroti perbuatan manusia saja, akan tetapi seluruh manusia sebagai pelaku moral. Memandang sikap dan akhlak seseorang yang adil, jujur, mura hati, dsb sebagai keseluruhan. Kedua, Hukum Abadi (Eternal Law), dasar dari teori ini adalah bahwa perbuatan etis harus didasarkan pada ajaran kitab suci dan alam.
c.    Hybrid
Dalam teori ini terdapat lima teori, meliputi :
1)    Personal Libertarianism
Dikembangkan oleh Robert Nozick, dimana perbuatan etikal diukur bukan dengan keadilan distribusi kekayaan, namun dengan keadilan atau kesamaan kesempatan bagi semua terhadap pilihan-pilihan yang ada (diketahui) untuk kemakmuran mereka. Teori ini percaya bahwa moralitas akan tumbuh subur dari maksimalisasi kebebasan individu.
2)    Ethical Egoism
Dalam teori ini, memaksimalisasi kepentingan individu dilakukan sesuai dengan keinginan individu yang bersangkutan. Kepentingan ini bukan harus berupa barang atau kekayaan, bisa juga berupa ketenaran, keluarga bahagia, pekerjaan yang baik, atau apapun yang dianggap penting oleh pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah yang bersangkutan.
3)    Existentialism
Tokoh yang mengembangkan teori ini adalah Jean-Paul Sartre. Menurutnya, standar perilaku tidak dapat dirasionalisasikan. Tidak ada perbuatan yang benar-benar salah ataua benar-benar benar atau sebaliknya. Setiap orang dapat memilih prinsip etika yang disukai karena manusia adalah apa yang ia inginkan dirinya menjadi.
4)    Relativism
Teori ini berpendapat bahwa etika itu bersifat relatif, jawaban dari etika itu tergantung dari situasinya. Dasar pemikiran teori ini adalah bahwa tidak ada kriteria universal untuk menentukan perbuatan etis. Setiap individu mempunyai kriteria sendiri-sendiri dan berbeda setiap budaya dan negara.
5)    Teori Hak (right)
Nilai dasar yang dianut dalam teori in adalah kebebasan. Perbuatan etis harus didasarkan pada hak individu terhadap kebebasan memilih. Setiap individu memiliki hak moral yang tidak dapat ditawar.
2.    Etika dalam Perpektif Islam
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dinamis sebagai bagian dari peradaban. Dalam hal ini, etika dengan agama berkaitan erat dengan manusia, tentang upaya pengaturan kehidupan dan perilakunya. Jika barat meletakkan “Akal” sebagai dasar kebenarannya. Maka, Islam meletakkan “Al-Qur’an” sebagai dasar kebenaran.
Berbagai teori etika Barat dapat dilihat dari sudut pandang Islam, sebagai berikut :
a.    Teleologi Utilitarian dalam Islam adalah hak individu dan kelompok adalah penting dan tanggungjawab adalah hak perseorangan.
b.    Distributive Justice dalam Islam adalah Islam mengajarkan keadilan. Hak orang miskin berada pada harta orang kaya. Islam mengakui kerja dan perbedaan kepemilikan kekayaan.
c.    Deontologi dalam Islam adalah Niat baik tidak dapat mengubah yang haram menjadi halal. Walaupun tujuan, niat dan asilnya baik, akan tetapi apabila caranya tidak baik, maka tetap tidak baik.
d.    Eternal Law dalam Islam adalah Allah mewajibkan manusia untuk mempelajari dan membaca wahyu dan ciptaanNya. Keduanya harus dilakukan dengan seimbang, Islam mewajibkan manusia aktif dalam kegiatan duniawi yang berupa muamalah sebagai proses penyucian diri.
e.    Relativisme dalam Islam adalah perbuatan manusia dan nilainya harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis. Prinsip konsultasi dengan pihak lain sangat ditekankan dalam Islam dan tidak ada tempat bagi egoisme dalam Islam.
f.    Teori Hak dalam Islam adalah menganjurkan kebebasan memilih sesuai kepercayaannya dan menganjurkan keseimbangan. Kebebasan tanpa tanggungjawab tidak dapat diterima. Dan tanggungjawab kepada Allah adalah hak individu.
E.    KETENTUAN UMUM ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM

1.    Kesatuan (Tauhid/Unity)
Dalam hal ini adalah kesatuan sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan aspek-aspek kehidupan muslim baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial menjadi keseluruhan yang homogen, serta mementingkan konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh. Dari konsep ini maka islam menawarkan keterpaduan agama, ekonomi, dan sosial demi membentuk kesatuan. Atas dasar pandangan ini pula maka etika dan bisnis menjadi terpadu, vertikal maupun horisontal, membentuk suatu persamaan yang sangat penting dalam sistem Islam.
2.    Keseimbangan (Equilibrium/Adil)
Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Rasulullah diutus Allah untuk membangun keadilan.   Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi. Kecurangan dalam berbisnis pertanda kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan bisnis adalah kepercayaan. Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
واوفوا الكيل اذا كلتم وزنوا بالقسطاس المستقيم ذالك خير وأحسن تأويلا
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(Q.S. al-Isra’: 35)
Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil,tak terkecuali pada pihak yang tidak disukai. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Maidah : 8 yang artinya : “Hai orang-orang beriman,hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah SWT,menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.Berlaku adillah karena adil lebih dekat dengan takwa”.
3.    Kehendak Bebas (Free Will)
Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis islam, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Kepentingan individu dibuka lebar. Tidak adanya batasan pendapatan bagi seseorang mendorong manusia untuk aktif berkarya dan bekerja dengan segala potensi yang dimilikinya. Kecenderungan manusia untuk terus menerus memenuhi kebutuhan pribadinya yang tak terbatas dikendalikan dengan adanya kewajiban setiap individu terhadap masyarakatnya melalui zakat, infak dan sedekah.
4.    Tanggungjawab (Responsibility)
Kebebasan tanpa batas adalah suatu hal yang mustahil dilakukan oleh manusia karena tidak menuntut adanya pertanggungjawaban dan akuntabilitas. untuk memenuhi tuntunan keadilan dan kesatuan, manusia perlu mempertaggungjawabkan tindakanya secara logis prinsip ini berhubungan erat dengan kehendak bebas. Ia menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan oleh manusia dengan bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
5.    Kebenaran: kebajikan dan kejujuran
Kebenaran dalam konteks ini selain mengandung makna kebenaran lawan dari kesalahan, mengandung pula dua unsur yaitu kebajikan dan kejujuran. Dalam konteks bisnis kebenaran dimaksudkan sebagia niat, sikap dan perilaku benar yang meliputi proses akad (transaksi) proses mencari atau memperoleh komoditas pengembangan maupun dalam proses upaya meraih atau menetapkan keuntungan. Dengan prinsip kebenaran ini maka etika bisnis Islam sangat menjaga dan berlaku preventif terhadap kemungkinan adanya kerugian salah satu pihak yang melakukan transaksi, kerjasama atau perjanjian dalam bisnis.
F.    TINGKATAN APLIKASI ETIKA BISNIS DALAM EKONOMI ISLAM
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi  pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan  dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik.
—————————————————–
          http://hndwibowo.blogspot.com/2008/06/etika-bisnis-dalam-islam.html.
          http://agustianto.niriah.com/2008/04/11/etika-bisnis-dalam-islam/
          http://zonaekis.com/prinsip-prinsip-dasar-dalam-etika-bisnis-islam
          http://zulfictarreza.blogspot.com/2010/11/etika-bisnis.html

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Dikaitkan dengan kegagalan kapitalisme Barat di negara-negara Muslim tersebut, kesadaran bahwa akar kapitalisme bukanlah dari Islam kemudian membangkitkan keinginan untuk merekonstruksi sistem ekonomi yang dianggap “otentik” berasal dari Islam. Apalagi sejarah memperlihatkan bahwa pemikiran ekonomi, telah pula dilakukan oleh para ulama Islam, bahkan jauh sebelum Adam Smith menulis buku monumentalnya The Wealth of Nations. Di samping itu, Iklim perdagangan yang akrab dengan munculnya Islam, telah menempatkan beberapa tokoh dalam sejarah sebagai pedagang yang berhasil. Keberhasilan tersebut ditunjang oleh kemampuan skill maupun akumulasi modal yang dikembangkan. Dalam pengertiannya yang sangat umum, maka bisa dikatakan bahwa dunia kapitalis sudah begitu akrab dengan ajaran Islam maupun para tokohnya. Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi ayat al-Qur’an maupun sunnah dalam mengumpulkan harta dari sebuah usaha secara maksimal.
Dengan banyaknya ayat al-Qur’an dan Hadis yang memberi pengajaran cara bisnis yang benar dan praktek bisnis yang salah bahkan menyangkut hal-hal yang sangat kecil, pada dasarnya kedudukan bisnis dan perdagangan dalam Islam sangat penting. Prinsip-prinsip dasar dalam perdagangan tersebut dijadikan referensi utama dalam pembahasan-pembahasan kegiatan ekonomi lainnya dalam Islam sebagai mana pada mekanisme kontrak dan perjanjian baru yang berkaitan dengan negara non-muslim yang tunduk pada hukum perjanjian barat.
Pada dasarnya etika (nilai-nilai dasar) dalam bisnis berfungsi untuk menolong pebisnis (dalam hal ini pedagang) untuk memecahkan problem-problem (moral) dalam praktek bisnis mereka. Oleh karena itu, dalam rangka mengembangkan sistem ekonomi Islam khususnya dalam upaya revitalisasi perdagangan Islam sebagai jawaban bagi kegagalan sistem ekonomi –baik kapitalisme maupun sosialisme-, menggali nilai-nilai dasar Islam tentang aturan perdagangan (bisnis) dari al-Qur’an maupun as-Sunnah, merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Dengan kerangka berpikir demikian, makalah ini akan mengkaji permasalahan revitalisasi perdagangan Islam, yang akan dikaitkan dengan pengembangan sektor riil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar